Let’s try to be the good full package
version of us.
Gambar dari Student Telkom University
Sedikit cerita, setelah
berpusing-pusing dengan banyak ujian masuk perguruan tinggi, ditolak ini-itu,
akhirnya saya diterima di beberapa tempat dan berakhir di POLBAN, Politeknik
Negeri Bandung aka Ex-Politeknik ITB yang sering dikira Polisi Bandung. Namun,
bukan berarti kepusingan ini berakhir begitu saja. Selanjutnya, banyak
pertanyaan yang muncul seperti :
“Wah beneran nih aku jadi mahasiswa?
Rasanya belum siap, diri ini tak lebih dari anak SMA yang hobinya begadang nonton
drama korea, dilanjut pagi-pagi nongkrongin Spongebob bareng temen kost-an,
untuk kemudian terlambat masuk kelas.”
“Aku belum siap jadi mahasiswa yang
harus memikirkan bangsa, ataupun mengikuti kakak-kakak yang pakai jas
almamater, bawa toa dan beberapa banner demonstrasi di berita TV. Dede masih
kecil, kak L.”
Selanjutnya aku browsing di gugel berbagai tips menjadi mahasiswa teladan,
bersahaja, serta menganut kedisiplinan tinggi dalam berorganisasi. No, actually
itu mah terlalu berlebihan.
Berbagai artikel yang dicari kebanyakan tentang “IPK atau organisasi?”, “Kuliah
sambil kerja”, begitu kurang lebih.
Kebanyakan yang aku baca adalah
jawaban setengah-setengah yang berujung “semua tergantung pada kemauan Anda.” Well buat apa krasak-krusuk di gugel kalo ujungnya disuruh mikir sendiri.
Berikutnya adalah jawaban menarik, kita
bisa bikin seimbang antara IPK dan organisasi asal bisa memanage waktu dengan
baik. Akhirnya pilihan telah ditentukan! Aku ingin aktif di organisasi tetapi
tidak berniat melalaikan nilai akademis. Memanage waktu mah gampang, hey!
Tinggal bikin agenda, lalu jalankan, selesai.
Tapi teman-teman, semuanya tidak
berjalan mulus seperti kulit mbak-mbak di
iklan lotion dan sabun mandi. Melainkan seperti kulit buaya asli yang gak akan
mulus walau pake treatment mahal
punya Syahrini L.
Kuliah itu sangat berbeda dengan
kehidupan SMA. Disini kita tidak dianjurkan untuk jadi umat “ikut-ikutan.”
Karena setiap pilihan yang kita ambil akan berdampak pada kehidupan kuliah ke
depannya.
Contohnya? Di dunia perkuliahan, entah
itu organisasi, himpunan, ataupun UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) sering
mengadakan acara-acara dan membuka open
recruitmen untuk kepanitiaannya. Lalu, ceritanya kita mendaftar hanya
karena ikut-ikutan teman.
Alhasil, kita terikat dengan banyak
tugas dan juga tanggung jawab yang “mau tak mau” harus diprioritaskan demi suksesnya
acara tersebut. Kita tidak bisa begitu saja menghilang, beralasan “setiap orang
memiliki prioritas yang berbeda” atau alasan “saya memiliki banyak kegiatan
lain”, “izin blablabla”, lantas lari dari tanggung jawab. Kan gawat kalo
ditanya senior galak : “Buat apa daftar toh, mas?!”
Karena perilaku seperti itu akan
menurunkan integritas kita di mata teman-teman yang lain. Singkatnya, kita akan
merugikan banyak orang dan juga diri sendiri. Karena teman-teman tidak akan
mempercayai kita lagi untuk mengemban sebuah tanggung jawab.
“JADI,
BAGAIMANA CARANYA MENENTUKAN KEGIATAN YANG AKAN DIPRIORITASKAN?”
Daripada memberikan jawaban yang
setengah-setengah, tulisan ini akan mengajak kamu berpikir bersama untuk
menjawab pertanyaan tersebut.
Pertama,
pikirkan dulu apa tujuan kita kuliah.
Apakah ingin cepat lulus lalu memiliki
gelar dan pekerjaan? Ataukah untuk mendalami suatu bidang ilmu pengetahuan yang
kita sukai? Atau karena terpaksa, daripada dijodohkan lalu jadi mamah muda?
Sebuah tulisan karya Faizur Rohmat di
kompasiana menyebutkan, “Sudah terlalu
jauh bila kita memikirkan cara meningkatkan kualitas bangsa sedangkan masa
depan kita sendiri belum terarah dan tidak terkonsep dengan baik.”
Terlepas dari apapun basa-basi seperti
“mencari ilmu”, atau “ingin jadi agent of
change”, pasti setelah lulus kuliah kita ingin memiliki pekerjaan dan
pendapatan sendiri. Kasarnya, ingin banyak uang begitu, kan?
“Jadi,
kita cukup belajar di kelas aja nih? Biar IPK gede trus cepet kerja?”
Nah, ijazah saja tak cukup untuk
mendapatkan pekerjaan! Apalagi bermodal sertifikat kepanitiaan saja, mana
cukup.
Setelah membaca beberapa tulisan
mengenai pekerjaan. Ada data yang menunjukkan bahwa perusahan di Indonesia masih sulit untuk menemukan mahasiswa yang “siap
pakai”. Padahal ribuan mahasiswa lulus setiap tahun. Apa sih yang
sebenarnya perusahaan cari? (sila cari artikelnya).
Daripada mengcopas beberapa data mengenai “kriteria fresh graduate yang dibutuhkan perusahaan” lalu membuat penjelasan
yang kaku dan tak berujung, lebih baik kita santai sedikit sembari berpikir.
“Kalo
aku memiliki sebuah perusahaan, pegawai macam apa yang aku inginkan agar
perusahaan ini makin menguntungkan?”
Bayangkan kita adalah pemilik sebuah
perusahaan besar!
Tentunya bukan pegawai yang memiliki
nilai tinggi, tapi tergagap berbicara di hadapan orang banyak. Paham berbagai
teori, tapi tidak mampu menyuarakan gagasan sendiri. Bukan juga pegawai yang
hobinya berbicara tapi tidak ada isinya. Apalagi pegawai yang berapi-api dalam
berpendapat, tetapi tidak memiliki landasan teori yang akurat.
Jika kita punya perusahaan, pastilah
kita ingin punya pegawai yang FULL
PACKAGE. Berpengetahuan tinggi, memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik,
tekun, dan memiliki etos kerja yang tinggi.
Sudah kebayang, kan? Harus seperti apa
kita setelah lulus nanti?
“Ah,
tapi aku gak mau jadi pegawai, aku maunya jadi founder, jadi atasan gitu deh.”
Kata siapa para pengusaha sukses di
luar sana bisa mencapai tujuannya dengan mudah? Untuk jadi pegawai saja kita
mesti full package, segala bisa. Apalagi jadi bos, lebih banyak lagi yang harus
kita kuasai.
Bagaimana mempengaruhi orang lain,
memecahkan masalah dalam keadaan penuh tekanan, memiliki banyak relasi. Butuh
lebih dari sekedar pengetahuan tinggi, juga organisasi untuk jadi bos. Kita
harus punya banyak pengalaman dan yang terpenting, kerja keras.
Intinya, kita harus bisa menyeimbangkan antara bidang akademis
sebagai bekal pengetahuan dan “gerbang” masuk tahap seleksi kerja berikutnya,
juga organisasi atau semacamnya sebagai modal untuk memiliki pengalaman serta
meningkatkan soft skill kita.
Walaupun seperti yang sudah tadi dikatakan, ini tidak akan berjalan mulus tanpa
usaha.
“Maksudnya
seimbang itu 50:50?”
Nah, langkah selanjutnya mengatur
porsi dari prioritas. Kita memang dituntut memiliki pengetahuan yang tinggi
didukung dengan berbagai soft skill.
Tapi, ingat bahwa manusia diciptakan berbeda-beda, bukan? Jadi bagaimana menentukan porsi prioritas ini
supaya kita bisa jadi lulusan yang ideal?
Selalu ada jalan untuk membuat kulit
buaya ini jadi lebih indah, kawan.
-- Dilanjut ke part 2--
https://thenotes1997.blogspot.co.id/2017/07/dilema-mahasiswa-untuk-jadi-pengejar_18.html
https://thenotes1997.blogspot.co.id/2017/07/dilema-mahasiswa-untuk-jadi-pengejar_18.html
0 komentar:
Posting Komentar