Selasa, 18 Juli 2017

DILEMA MAHASISWA UNTUK JADI PENGEJAR IPK ATAU AKTIVIS ORGANISASI (part 1/2)


Let’s try to be the good full package version of us.

Gambar dari Student Telkom University

Tulisan ini dibuat dengan niat untuk membantu mahasiswa baru, atau mahasiswa baru satu-dua tahun meluruskan kembali perihal maksud kita memasuki dunia kampus. Terutama catatan untuk diri sendiri, yang nyatanya nyaris menjadi mahasiswa sempurna. Sempurna ke-tidak berguna-annya. Naudzubillahi min dzalik L Just kidding, dude.

Sedikit cerita, setelah berpusing-pusing dengan banyak ujian masuk perguruan tinggi, ditolak ini-itu, akhirnya saya diterima di beberapa tempat dan berakhir di POLBAN, Politeknik Negeri Bandung aka Ex-Politeknik ITB yang sering dikira Polisi Bandung. Namun, bukan berarti kepusingan ini berakhir begitu saja. Selanjutnya, banyak pertanyaan yang muncul seperti :

“Wah beneran nih aku jadi mahasiswa? Rasanya belum siap, diri ini tak lebih dari anak SMA yang hobinya begadang nonton drama korea, dilanjut pagi-pagi nongkrongin Spongebob bareng temen kost-an, untuk kemudian terlambat masuk kelas.”

“Aku belum siap jadi mahasiswa yang harus memikirkan bangsa, ataupun mengikuti kakak-kakak yang pakai jas almamater, bawa toa dan beberapa banner demonstrasi di berita TV. Dede masih kecil, kak L.”

Selanjutnya aku browsing di gugel berbagai tips menjadi mahasiswa teladan, bersahaja, serta menganut kedisiplinan tinggi dalam berorganisasi. No, actually itu mah terlalu berlebihan. Berbagai artikel yang dicari kebanyakan tentang “IPK atau organisasi?”, “Kuliah sambil kerja”, begitu kurang lebih.

Kebanyakan yang aku baca adalah jawaban setengah-setengah yang berujung “semua tergantung pada kemauan Anda.” Well buat apa krasak-krusuk di gugel kalo ujungnya disuruh mikir sendiri.

Berikutnya adalah jawaban menarik, kita bisa bikin seimbang antara IPK dan organisasi asal bisa memanage waktu dengan baik. Akhirnya pilihan telah ditentukan! Aku ingin aktif di organisasi tetapi tidak berniat melalaikan nilai akademis. Memanage waktu mah gampang, hey! Tinggal bikin agenda, lalu jalankan, selesai.

Tapi teman-teman, semuanya tidak berjalan mulus seperti kulit mbak-mbak di iklan lotion dan sabun mandi. Melainkan seperti kulit buaya asli yang gak akan mulus walau pake treatment mahal punya Syahrini L.

Kuliah itu sangat berbeda dengan kehidupan SMA. Disini kita tidak dianjurkan untuk jadi umat “ikut-ikutan.” Karena setiap pilihan yang kita ambil akan berdampak pada kehidupan kuliah ke depannya.

Contohnya? Di dunia perkuliahan, entah itu organisasi, himpunan, ataupun UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) sering mengadakan acara-acara dan membuka open recruitmen untuk kepanitiaannya. Lalu, ceritanya kita mendaftar hanya karena ikut-ikutan teman.

Alhasil, kita terikat dengan banyak tugas dan juga tanggung jawab yang “mau tak mau” harus diprioritaskan demi suksesnya acara tersebut. Kita tidak bisa begitu saja menghilang, beralasan “setiap orang memiliki prioritas yang berbeda” atau alasan “saya memiliki banyak kegiatan lain”, “izin blablabla”, lantas lari dari tanggung jawab. Kan gawat kalo ditanya senior galak : “Buat apa daftar toh, mas?!”

Karena perilaku seperti itu akan menurunkan integritas kita di mata teman-teman yang lain. Singkatnya, kita akan merugikan banyak orang dan juga diri sendiri. Karena teman-teman tidak akan mempercayai kita lagi untuk mengemban sebuah tanggung jawab.

“JADI, BAGAIMANA CARANYA MENENTUKAN KEGIATAN YANG AKAN DIPRIORITASKAN?”

Daripada memberikan jawaban yang setengah-setengah, tulisan ini akan mengajak kamu berpikir bersama untuk menjawab pertanyaan tersebut.

Pertama, pikirkan dulu apa tujuan kita kuliah.

Apakah ingin cepat lulus lalu memiliki gelar dan pekerjaan? Ataukah untuk mendalami suatu bidang ilmu pengetahuan yang kita sukai? Atau karena terpaksa, daripada dijodohkan lalu jadi mamah muda?

Sebuah tulisan karya Faizur Rohmat di kompasiana menyebutkan, “Sudah terlalu jauh bila kita memikirkan cara meningkatkan kualitas bangsa sedangkan masa depan kita sendiri belum terarah dan tidak terkonsep dengan baik.”

Terlepas dari apapun basa-basi seperti “mencari ilmu”, atau “ingin jadi agent of change”, pasti setelah lulus kuliah kita ingin memiliki pekerjaan dan pendapatan sendiri. Kasarnya, ingin banyak uang begitu, kan?

“Jadi, kita cukup belajar di kelas aja nih? Biar IPK gede trus cepet kerja?”
Nah, ijazah saja tak cukup untuk mendapatkan pekerjaan! Apalagi bermodal sertifikat kepanitiaan saja, mana cukup.

Setelah membaca beberapa tulisan mengenai pekerjaan. Ada data yang menunjukkan bahwa perusahan di Indonesia masih sulit untuk menemukan mahasiswa yang “siap pakai”. Padahal ribuan mahasiswa lulus setiap tahun. Apa sih yang sebenarnya perusahaan cari? (sila cari artikelnya).

Daripada mengcopas beberapa data mengenai “kriteria fresh graduate yang dibutuhkan perusahaan” lalu membuat penjelasan yang kaku dan tak berujung, lebih baik kita santai sedikit sembari berpikir.

“Kalo aku memiliki sebuah perusahaan, pegawai macam apa yang aku inginkan agar perusahaan ini makin menguntungkan?”

Bayangkan kita adalah pemilik sebuah perusahaan besar!

Tentunya bukan pegawai yang memiliki nilai tinggi, tapi tergagap berbicara di hadapan orang banyak. Paham berbagai teori, tapi tidak mampu menyuarakan gagasan sendiri. Bukan juga pegawai yang hobinya berbicara tapi tidak ada isinya. Apalagi pegawai yang berapi-api dalam berpendapat, tetapi tidak memiliki landasan teori yang akurat.
Jika kita punya perusahaan, pastilah kita ingin punya pegawai yang FULL PACKAGE. Berpengetahuan tinggi, memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik, tekun, dan memiliki etos kerja yang tinggi.

Sudah kebayang, kan? Harus seperti apa kita setelah lulus nanti?

“Ah, tapi aku gak mau jadi pegawai, aku maunya jadi founder, jadi atasan gitu deh.”

Kata siapa para pengusaha sukses di luar sana bisa mencapai tujuannya dengan mudah? Untuk jadi pegawai saja kita mesti full package, segala bisa. Apalagi jadi bos, lebih banyak lagi yang harus kita kuasai.

Bagaimana mempengaruhi orang lain, memecahkan masalah dalam keadaan penuh tekanan, memiliki banyak relasi. Butuh lebih dari sekedar pengetahuan tinggi, juga organisasi untuk jadi bos. Kita harus punya banyak pengalaman dan yang terpenting, kerja keras.

Intinya, kita harus bisa menyeimbangkan antara bidang akademis sebagai bekal pengetahuan dan “gerbang” masuk tahap seleksi kerja berikutnya, juga organisasi atau semacamnya sebagai modal untuk memiliki pengalaman serta meningkatkan soft skill kita. Walaupun seperti yang sudah tadi dikatakan, ini tidak akan berjalan mulus tanpa usaha.

“Maksudnya seimbang itu 50:50?”

Nah, langkah selanjutnya mengatur porsi dari prioritas. Kita memang dituntut memiliki pengetahuan yang tinggi didukung dengan berbagai soft skill. Tapi, ingat bahwa manusia diciptakan berbeda-beda, bukan? Jadi bagaimana menentukan porsi prioritas ini supaya kita bisa jadi lulusan yang ideal?

Selalu ada jalan untuk membuat kulit buaya ini jadi lebih indah, kawan.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Online Project management
Sumber : http://kolombloggratis.blogspot.com/2011/03/tips-cara-supaya-artikel-blog-tidak.html#ixzz2bicjTJxj