oleh I.C.A
Hingar bingar suasana ibu kota tak lagi nampak.
Gedung tak lagi mencakar langit. Terik matahari yang membakar kini sirna. Udara
pengap sudah tak terasa. Suara bising klakson kopaja tak juga kudengar, lalu
lalang manusia berkesibukan tak terlihat jua. Semua sirna.
Tergantikan hijaunya perbukitan. Rumah-rumah
kayu sederhana terpaut jarak tak terlihat padat. Hangat ramah sinar mentari
menyentuh kulit, ditemani udara sejuk yang memanjakan diri. Kicauan burung
menyanyikan lagu damai, mengiringi warga desa yang berbincang santai. Semua
terasa berbeda, jauh lebih indah.
“Islan, ayo kemari, nak.” Nenek
memanggilku dari teras rumah, dengan nama Islan. Beranjak meninggalkan halaman
belakang, aku menghampiri nenek. Selanjutnya aku diperkenalkan pada para
tetangga yang juga berkumpul di beranda, menikmati hangatnya kopi dan jajanan
tradisional. Aku tersenyum ramah tak hentinya.
Liburan kali ini kuhabiskan di rumah
nenek, di pedesaan jauh dari keramaian. Lahir dan tinggal di kota besar
membuatku lebih menghargai alam yang masih asri seperti disini. Tak banyak
teman sebaya yang kulihat selama di desa, alhasil aku selalu bermain sendiri
jika di rumah nenek. Walaupun begitu, aku bahagia.
Hari kedua, kakek mengajakku
memancing di sungai. Dengan riang aku mengiyakan, meminta izin nenek dan segera
bersiap. Tak banyak yang kubawa ketika menemani kakek, hanya kamera mirrorless
yang diberikan ibuku.
Melewati jalan setapak, sampai satu
dua rumah warga dan saling menyapa. Menyebrangi sungai kecil berjembatan bambu
dengan hati-hati. Kakek berjalan sigap di depan, memastikan jalan juga
terkadang menoleh ke belakang untuk melihatku baik-baik saja. “Bay, tetap di
belakang kakek.” Ujar kakek melihat aku tertinggal karena sibuk memotret. Oh
ya, kakek memanggilku ibay, nenek juga. Masa batitaku dihabiskan di sini, untuk
menghindari polusi dan kericuhan kota besar, kata ibuku. Ketika mulai bisa berbicara
aku selalu memanggil kakek, nenek, juga ibu dan ayah, tapi kemudian aku selalu
berkata bay bay bay, Cerita ibu. Jadi, kakek dan nenek memanggilku Ibay.
Pesawahan yang luas terbentang adalah rute terakhir
yang memisahkan kami dengan sungai di depan sana. Meniti jalan kecil, atau
lebih tepatnya gundukan tanah yang memisahkan sawah satu dan yang lainnya. Kadang
kakek berhenti di persimpangan antara sawah-sawah itu. Mungkin menimbang untuk
belok ke kiri atau kanan, mencari jalan yang lebih aman apalagi untukku yang
masih belum terbiasa.
Aku menghentikan langkah demi melihat
banyak ikan-ikan kecil mengitari tanaman padi, lucu sekali menurutku. Sampai
tersadar bahwa gemuruh sungai mulai terdengar, aku kembali berjalan mengikuti
kakek. Tak sabar segera sampai.
Akhirnya, jernih sungai telah
terlihat. Dihiasi batu-batu sungai yang besar. Sangat besar, sebenarnya. Derasnya
lumayan juga, kakek menuntunku menapaki pinggiran sungai menuju tempat biasa
kami memancing.
Kakek membenahi perlengkapan
sederhananya. Umpan, pancing, juga ember untuk ikan nanti, dan tas selempang
kecil yang aku tak tahu isinya apa. Aku membantu. Tak sampai sepuluh menit,
semuanya siap. Kakek duduk di atas batu besar di pinggir sungai memegang pancing.
Aku? Aku tak ikut memancing seperti kakek, karena memang niatku menemani.
Setiap kemari aku selalu bermain di sungai yang dangkal, menikmati dinginnya
air sungai dan menjepret beberapa foto. Tanpa lepas dari pengawasan kakek,
pastinya.
Saat mataku melihat melalui lensa
kamera, aku melihat sesuatu. Ah! Indahnya, ada batu sungai berwarna merah muda.
Aku menggantung kamera di leher dan menghampiri batu itu. Tak besar, mungkin
sepanjang 10 cm dengan diameter kurang lebih 6 cm, oval bentuknya. Kucoba
mencabut batu itu dari dasar sungai berkedalaman selutut itu. Tapi, begitu
sulit. Bukannya menyerah aku terus mencari akal untuk dapat mengambil batu itu,
sampai kakek memanggilku.
Kakek tak lagi duduk di atas batu besar,
kini kakek duduk di batu kecil sambil melihat ke dalam ember. “Lihatlah, Bay!
Kakek sudah dapat tiga ikan, cukup untuk makan nanti malam.” Aku ikut melihat
ke dalam ember dengan antusias, kakekku memang jago memancing.
Senang melihat ikan-ikan berenang
sempit dalam ember, tak sadar kakek sudah siap dengan perlengkapannya. “Ayo,
pulang.” Aku mengangguk, kami pulang dan aku lupa dengan batu itu.
Nenek memasak ikan, sedangkan kakek
menonton televisi. Aku sibuk mengutak-atik kamera melihat hasil jepretan hari
ini. Senang sekali aku memotret, tak pernah absen mengikuti ekskul photografi
di sekolah. Aku memotret rumah warga, jembatan bambu, sawah, juga kakek yang
sedang memancing. Foto terakhir yang kujepret adalah batu merah muda itu. Ah!
Kulupa. Kupandangi foto itu, sangat indah. Mungkin telah lama ada di dalam
sungai, permukaannya halus dan warnanya benar-benar merah muda.
“Kek, apa besok kita akan ke sungai
lagi?” Aku menghampiri kakek yang sibuk menonton berita menayangkan pidato
orang nomor satu di negeri ini. Tak ada jawaban, kakek hanya merengut membaca headline berita. “Kek, besok kita ke
sungai lagi?” Kuulangi pertanyaanku. Kakek menoleh
“Mungkin tidak, Bay. Besok nenek
pergi ke pasar senin membeli daging dan sayuran.” Jawab kakek, yang kemudian
kembali khusyuk menonton tv.
Kecewa, aku kembali sibuk dengan
kamera. Saat aku melihat foto sungai, ada yang menarik. Bukan batu itu, bukan. Di
pinggir sungai, di seberang sana, seperti ada bayangan seseorang. Tidak seperti
pinggir sungai tempat kakek dan aku berdiam, pinggir sebrang adalah hutan.
Mengapa ada seseorang disana? Atau itu adalah... ah... tidak mungkin, tidak ada
yang begituan.
“Kek, sudah pergi ke rumah Haji
Badrudin belum?” Tanya nenek, sambil membawa sepiring pisang goreng. Kakek
menggeleng, bertanya kenapa harus pergi kesana. “Selagi kakek dan Ibay ke
sungai, anak Pak Haji meninggal karena sakitnya, nenek tak bisa langsung
melawat karena belum ada izin kakek buat keluar rumah.” Cerita nenek. Kakek
mengangguk-angguk, sedangkan aku tercengang sambil memegang kamera yang masih
memasang foto sungai itu.
“Mungkin selepas maghrib, kakek akan
pergi kesana bersama jemaah surau yang belum melawat.” Kata kakek mengambil
pisang goreng.
Hari ketiga. Pagi berjalan seperti
biasanya, nenek menyapu halaman rumah, kakek minum kopi di beranda sambil
membaca buku. Aku sibuk memotret. Cuaca cerah seperti kemarin, begitu hijau
sejauh mata memandang, kicauan burung dan sejuknya tak membuat jenuh. Apapun
bisa jadi objek foto yang menakjubkan.
“Hah... huh... hah...” Seorang
pemuda tersengal nafasnya setelah berlari menghampiri nenek. Menghentikan
aktivitas menyapunya, nenek itu mengajak pemuda itu duduk. Tapi dia menolak.
“Tidak, mak haji. Saya cuma mau
memberitahu, kalau bapak sakit dan tidak bisa menjaga sawah untuk hari ini.
Bapak meminta maaf. Saya pun harus buru-buru kembali, karena ayah sendirian di
rumah.” Kata pemuda itu setelah nafasnya tenang.
“Sakit apa bapak kau, Soleh?” Kata
kakek melepas kacamata bacanya.
“Kepalanya sakit, sampai tak sanggup
berdiri sendiri. Ke kamar kecil pun harus diantar, apih haji.” Kata pemuda itu
menunduk-nunduk bicara pada kakek.
“Nek, ambilkan obat untuk Pak
Mansur. Obat sakit kepala, ada kan?” Kata kakek. Lantas nenek langsung masuk ke
rumah mengambil obat, tak lama.
“Terima kasih apih haji, saya pamit
dulu.” Pemuda itu berjalan sebentar lalu berlari dengan cepatnya.
Tak melanjutkan bacanya, kakek masuk
ke dalam rumah. Begitu juga nenek yang tak kembali menyapu. Aku mengikuti
masuk. Di ruang tengah kami berkumpul.
“Kalau begitu, aku harus pergi ke
sawah.” Kata kakek. Nenek mengiyakan dan bercerita bahwa padi-padi itu sedang
ada di waktu harus selalu dijaga, agar tak ada burung, atau kawanan hewan lain
yang merusak. Nenek tak jadi pergi ke pasar dan segera menyiapkan bekal makanan
di dapur, dan kakek bersiap di dalam kamar. Aku sendiri lagi.
“Bay, ayo ikut kakek. Katanya
kemarin kau mau pergi ke sungai lagi kan?” Tanya kakek setelah bersiap.
Teringat batu itu, aku langsung antusias dan siap ikut pergi ke sawah yang tak
jauh dari sungai kemarin.
Rute untuk pergi ke sawah kakek dan
tempat memancing adalah sama, sebagian besar. Hanya berbeda ketika kami sudah
sampai di luas bentangan sawah. Untuk menuju sungai harus pergi ke utara, tapi
ke sawah kakek kita pergi ke arah barat laut, lebih kiri dari utara.
Terdengar aliran air sungai yang
tenang. Sampailah kami di gubuk kokoh milik kakek. Disini biasanya ada Pak
Mansur, penjaga sawah milik kakek. Semoga beliau lekas sembuh, pikirku. Aku
membenahi perbekalan makanan yang diberi nenek tanpa lepas dari leher, kamera
kesayanganku.
Setelah sebentar beristirahat, kakek
turun untuk mengelilingi sawah dan aku berniat pergi ke tepi sungai yang memang
sangat dekat dari gubuk ini. Mencari batu itu. Kakek mengizinkan asal aku
berhati-hati, senangnya.
Kurasa sudah agak lama aku menyusuri
sungai dangkal, tapi tak ketemu juga batu itu. Padahal aku yakin ini tempatnya.
Lelah, akhirnya aku duduk di tepian sungai, meraih kamera dan mulai menjepret.
Tiba-tiba, aku teringat dengan foto kemarin, yang ada bayangan anehnya. Aku
sama sekali lupa dengan foto itu. Ya Tuhan, bulu kudukku merinding. Seketika
suasana romantis sungai berubah menjadi seram, dan aku sudah tak melihat kakek
di tepian sawah.
Kicauan merdu burung berubah menjadi
iringan yang mengerikan, rerumputan yang tak sengaja menyentuhku terasa begitu
megganggu. Kakiku selutut terendam air sungai yang terasa lebih dingin. Sepi.
Hening. Aku ingin teriak memanggil kakek jika saja bibir ini tak terasa beku. Dan
lagi, aku merasa kini ada yang sedang memerhatikanku, apakah arwah anak Haji
Badrudin? Aku menunduk, menghitung dalam hati sampai sepuluh, berencana lari
menghampiri kakek.
8... 9... 10... Aku terperanjat dan
segera lari di pinggiran sungai. Tapi berlari dengan setengah kakiku ada di
dalam air, bukan hal yang mudah. Tapi secepat yang aku bisa, aku berlari.
Hingga tak sadar kakiku menginjak batu yang tak tertanam, membuatku
tergelincir. Aku terpejam, menunggu waktu hingga mungkin kepalaku akan
membentur batu-batu sungai.
Dug.
Hah?
Aku tak merasakan air, ataupun kerasnya bebatuan. Apa aku begitu terbentur
hingga kepalaku tak berfungsi lagi? Tapi ku rasa hangat. Oh tidak... apa aku
sudah ada di alam lain? Beginikah alam gaib?bersambung
0 komentar:
Posting Komentar