Jumat, 06 Januari 2017

Merah Muda

oleh I.C.A

Hingar bingar suasana ibu kota tak lagi nampak. Gedung tak lagi mencakar langit. Terik matahari yang membakar kini sirna. Udara pengap sudah tak terasa. Suara bising klakson kopaja tak juga kudengar, lalu lalang manusia berkesibukan tak terlihat jua. Semua sirna.

            Tergantikan hijaunya perbukitan. Rumah-rumah kayu sederhana terpaut jarak tak terlihat padat. Hangat ramah sinar mentari menyentuh kulit, ditemani udara sejuk yang memanjakan diri. Kicauan burung menyanyikan lagu damai, mengiringi warga desa yang berbincang santai. Semua terasa berbeda, jauh lebih indah.
            “Islan, ayo kemari, nak.” Nenek memanggilku dari teras rumah, dengan nama Islan. Beranjak meninggalkan halaman belakang, aku menghampiri nenek. Selanjutnya aku diperkenalkan pada para tetangga yang juga berkumpul di beranda, menikmati hangatnya kopi dan jajanan tradisional. Aku tersenyum ramah tak hentinya.
            Liburan kali ini kuhabiskan di rumah nenek, di pedesaan jauh dari keramaian. Lahir dan tinggal di kota besar membuatku lebih menghargai alam yang masih asri seperti disini. Tak banyak teman sebaya yang kulihat selama di desa, alhasil aku selalu bermain sendiri jika di rumah nenek. Walaupun begitu, aku bahagia.
            Hari kedua, kakek mengajakku memancing di sungai. Dengan riang aku mengiyakan, meminta izin nenek dan segera bersiap. Tak banyak yang kubawa ketika menemani kakek, hanya kamera mirrorless yang diberikan ibuku.
            Melewati jalan setapak, sampai satu dua rumah warga dan saling menyapa. Menyebrangi sungai kecil berjembatan bambu dengan hati-hati. Kakek berjalan sigap di depan, memastikan jalan juga terkadang menoleh ke belakang untuk melihatku baik-baik saja. “Bay, tetap di belakang kakek.” Ujar kakek melihat aku tertinggal karena sibuk memotret. Oh ya, kakek memanggilku ibay, nenek juga. Masa batitaku dihabiskan di sini, untuk menghindari polusi dan kericuhan kota besar, kata ibuku. Ketika mulai bisa berbicara aku selalu memanggil kakek, nenek, juga ibu dan ayah, tapi kemudian aku selalu berkata bay bay bay, Cerita ibu. Jadi, kakek dan nenek memanggilku Ibay.
Pesawahan yang luas terbentang adalah rute terakhir yang memisahkan kami dengan sungai di depan sana. Meniti jalan kecil, atau lebih tepatnya gundukan tanah yang memisahkan sawah satu dan yang lainnya. Kadang kakek berhenti di persimpangan antara sawah-sawah itu. Mungkin menimbang untuk belok ke kiri atau kanan, mencari jalan yang lebih aman apalagi untukku yang masih belum terbiasa.
            Aku menghentikan langkah demi melihat banyak ikan-ikan kecil mengitari tanaman padi, lucu sekali menurutku. Sampai tersadar bahwa gemuruh sungai mulai terdengar, aku kembali berjalan mengikuti kakek. Tak sabar segera sampai.
            Akhirnya, jernih sungai telah terlihat. Dihiasi batu-batu sungai yang besar. Sangat besar, sebenarnya. Derasnya lumayan juga, kakek menuntunku menapaki pinggiran sungai menuju tempat biasa kami memancing.
            Kakek membenahi perlengkapan sederhananya. Umpan, pancing, juga ember untuk ikan nanti, dan tas selempang kecil yang aku tak tahu isinya apa. Aku membantu. Tak sampai sepuluh menit, semuanya siap. Kakek duduk di atas batu besar di pinggir sungai memegang pancing. Aku? Aku tak ikut memancing seperti kakek, karena memang niatku menemani. Setiap kemari aku selalu bermain di sungai yang dangkal, menikmati dinginnya air sungai dan menjepret beberapa foto. Tanpa lepas dari pengawasan kakek, pastinya.
            Saat mataku melihat melalui lensa kamera, aku melihat sesuatu. Ah! Indahnya, ada batu sungai berwarna merah muda. Aku menggantung kamera di leher dan menghampiri batu itu. Tak besar, mungkin sepanjang 10 cm dengan diameter kurang lebih 6 cm, oval bentuknya. Kucoba mencabut batu itu dari dasar sungai berkedalaman selutut itu. Tapi, begitu sulit. Bukannya menyerah aku terus mencari akal untuk dapat mengambil batu itu, sampai kakek memanggilku.
            Kakek tak lagi duduk di atas batu besar, kini kakek duduk di batu kecil sambil melihat ke dalam ember. “Lihatlah, Bay! Kakek sudah dapat tiga ikan, cukup untuk makan nanti malam.” Aku ikut melihat ke dalam ember dengan antusias, kakekku memang jago memancing.
            Senang melihat ikan-ikan berenang sempit dalam ember, tak sadar kakek sudah siap dengan perlengkapannya. “Ayo, pulang.” Aku mengangguk, kami pulang dan aku lupa dengan batu itu.
            Nenek memasak ikan, sedangkan kakek menonton televisi. Aku sibuk mengutak-atik kamera melihat hasil jepretan hari ini. Senang sekali aku memotret, tak pernah absen mengikuti ekskul photografi di sekolah. Aku memotret rumah warga, jembatan bambu, sawah, juga kakek yang sedang memancing. Foto terakhir yang kujepret adalah batu merah muda itu. Ah! Kulupa. Kupandangi foto itu, sangat indah. Mungkin telah lama ada di dalam sungai, permukaannya halus dan warnanya benar-benar merah muda.
            “Kek, apa besok kita akan ke sungai lagi?” Aku menghampiri kakek yang sibuk menonton berita menayangkan pidato orang nomor satu di negeri ini. Tak ada jawaban, kakek hanya merengut membaca headline berita. “Kek, besok kita ke sungai lagi?” Kuulangi pertanyaanku. Kakek menoleh
            “Mungkin tidak, Bay. Besok nenek pergi ke pasar senin membeli daging dan sayuran.” Jawab kakek, yang kemudian kembali khusyuk menonton tv.
            Kecewa, aku kembali sibuk dengan kamera. Saat aku melihat foto sungai, ada yang menarik. Bukan batu itu, bukan. Di pinggir sungai, di seberang sana, seperti ada bayangan seseorang. Tidak seperti pinggir sungai tempat kakek dan aku berdiam, pinggir sebrang adalah hutan. Mengapa ada seseorang disana? Atau itu adalah... ah... tidak mungkin, tidak ada yang begituan.
            “Kek, sudah pergi ke rumah Haji Badrudin belum?” Tanya nenek, sambil membawa sepiring pisang goreng. Kakek menggeleng, bertanya kenapa harus pergi kesana. “Selagi kakek dan Ibay ke sungai, anak Pak Haji meninggal karena sakitnya, nenek tak bisa langsung melawat karena belum ada izin kakek buat keluar rumah.” Cerita nenek. Kakek mengangguk-angguk, sedangkan aku tercengang sambil memegang kamera yang masih memasang foto sungai itu.
            “Mungkin selepas maghrib, kakek akan pergi kesana bersama jemaah surau yang belum melawat.” Kata kakek mengambil pisang goreng.
            Hari ketiga. Pagi berjalan seperti biasanya, nenek menyapu halaman rumah, kakek minum kopi di beranda sambil membaca buku. Aku sibuk memotret. Cuaca cerah seperti kemarin, begitu hijau sejauh mata memandang, kicauan burung dan sejuknya tak membuat jenuh. Apapun bisa jadi objek foto yang menakjubkan.
            “Hah... huh... hah...” Seorang pemuda tersengal nafasnya setelah berlari menghampiri nenek. Menghentikan aktivitas menyapunya, nenek itu mengajak pemuda itu duduk. Tapi dia menolak.
            “Tidak, mak haji. Saya cuma mau memberitahu, kalau bapak sakit dan tidak bisa menjaga sawah untuk hari ini. Bapak meminta maaf. Saya pun harus buru-buru kembali, karena ayah sendirian di rumah.” Kata pemuda itu setelah nafasnya tenang.
            “Sakit apa bapak kau, Soleh?” Kata kakek melepas kacamata bacanya.
            “Kepalanya sakit, sampai tak sanggup berdiri sendiri. Ke kamar kecil pun harus diantar, apih haji.” Kata pemuda itu menunduk-nunduk bicara pada kakek.
            “Nek, ambilkan obat untuk Pak Mansur. Obat sakit kepala, ada kan?” Kata kakek. Lantas nenek langsung masuk ke rumah mengambil obat, tak lama.
            “Terima kasih apih haji, saya pamit dulu.” Pemuda itu berjalan sebentar lalu berlari dengan cepatnya.
            Tak melanjutkan bacanya, kakek masuk ke dalam rumah. Begitu juga nenek yang tak kembali menyapu. Aku mengikuti masuk. Di ruang tengah kami berkumpul.
            “Kalau begitu, aku harus pergi ke sawah.” Kata kakek. Nenek mengiyakan dan bercerita bahwa padi-padi itu sedang ada di waktu harus selalu dijaga, agar tak ada burung, atau kawanan hewan lain yang merusak. Nenek tak jadi pergi ke pasar dan segera menyiapkan bekal makanan di dapur, dan kakek bersiap di dalam kamar. Aku sendiri lagi.
            “Bay, ayo ikut kakek. Katanya kemarin kau mau pergi ke sungai lagi kan?” Tanya kakek setelah bersiap. Teringat batu itu, aku langsung antusias dan siap ikut pergi ke sawah yang tak jauh dari sungai kemarin.
            Rute untuk pergi ke sawah kakek dan tempat memancing adalah sama, sebagian besar. Hanya berbeda ketika kami sudah sampai di luas bentangan sawah. Untuk menuju sungai harus pergi ke utara, tapi ke sawah kakek kita pergi ke arah barat laut, lebih kiri dari utara.
            Terdengar aliran air sungai yang tenang. Sampailah kami di gubuk kokoh milik kakek. Disini biasanya ada Pak Mansur, penjaga sawah milik kakek. Semoga beliau lekas sembuh, pikirku. Aku membenahi perbekalan makanan yang diberi nenek tanpa lepas dari leher, kamera kesayanganku.
            Setelah sebentar beristirahat, kakek turun untuk mengelilingi sawah dan aku berniat pergi ke tepi sungai yang memang sangat dekat dari gubuk ini. Mencari batu itu. Kakek mengizinkan asal aku berhati-hati, senangnya.
            Kurasa sudah agak lama aku menyusuri sungai dangkal, tapi tak ketemu juga batu itu. Padahal aku yakin ini tempatnya. Lelah, akhirnya aku duduk di tepian sungai, meraih kamera dan mulai menjepret. Tiba-tiba, aku teringat dengan foto kemarin, yang ada bayangan anehnya. Aku sama sekali lupa dengan foto itu. Ya Tuhan, bulu kudukku merinding. Seketika suasana romantis sungai berubah menjadi seram, dan aku sudah tak melihat kakek di tepian sawah.
            Kicauan merdu burung berubah menjadi iringan yang mengerikan, rerumputan yang tak sengaja menyentuhku terasa begitu megganggu. Kakiku selutut terendam air sungai yang terasa lebih dingin. Sepi. Hening. Aku ingin teriak memanggil kakek jika saja bibir ini tak terasa beku. Dan lagi, aku merasa kini ada yang sedang memerhatikanku, apakah arwah anak Haji Badrudin? Aku menunduk, menghitung dalam hati sampai sepuluh, berencana lari menghampiri kakek.
            8... 9... 10... Aku terperanjat dan segera lari di pinggiran sungai. Tapi berlari dengan setengah kakiku ada di dalam air, bukan hal yang mudah. Tapi secepat yang aku bisa, aku berlari. Hingga tak sadar kakiku menginjak batu yang tak tertanam, membuatku tergelincir. Aku terpejam, menunggu waktu hingga mungkin kepalaku akan membentur batu-batu sungai.
            Dug.
            Hah? Aku tak merasakan air, ataupun kerasnya bebatuan. Apa aku begitu terbentur hingga kepalaku tak berfungsi lagi? Tapi ku rasa hangat. Oh tidak... apa aku sudah ada di alam lain? Beginikah alam gaib?

bersambung

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Online Project management
Sumber : http://kolombloggratis.blogspot.com/2011/03/tips-cara-supaya-artikel-blog-tidak.html#ixzz2bicjTJxj