Mataku menerawang jauh kebawah sana,
Subhanallah… begitu menakjubkan, apalagi disampingku duduk seorang bidadari.
Bidadari syurga, menurutku. Meski umurnya sudah lebih dari separuh abad, tapi
semangatku bergejolak ketika melihat pancaran keikhlasan dari matanya, bibirnya tak berhenti mengucapkan sesuatu yang sepertinya diucapkan untuk ilah kami.
Syukurku pada Allah SWT tak kunjung berhenti. Bagaimana tidak?
mimpiku kini sudah tercapai, aku duduk manis bagai ratu sehari. Wanita-wanita
santun yang berparas elok itu sudah
memberikan apa yang aku inginkan,
bukan mengabulkan, aku tau mereka sudah mempersiapkan semuanya dengan baik.
Meskipun pramugari itu memaksa kami
untuk memperhatikannya, tapi aku lebih tertarik melihat suasana disekelilingku.
Banyak wajah yang menggambarkan kebahagiaan, tak terkecuali ibuku, ayahku, dan kakakku.
Tapi ada yang aneh dengan wajah yang saat ini kulihat, dia memang terlihat
bahagia, tapi…
“Fathimah, berapa lama lagi kita
sampai?” Tangannya menggenggam erat tanganku.
“Sebentar lagi, bu.” Kataku selembut
mungkin.
Tapi matanya memancarkan sesuatu yang
lain, yang membuatku merasa senang melihatnya, ya… seperti melihat orang–orang yang
sangat dekat dengan tuhannya, sejuk dilihat. Lebih anehnya lagi, aku merasa
wajahnya tidak asing bagiku, entah aku pernah berteman atau hanya pernah
berinteraksi sesaat dengannya. Astagfirullah… berkata apa aku ini? mana mungkin
aku pernah berteman dengannya, dengan seseorang yang disekelilingnya duduk
orang-orang non-Indonesia yang sedikit menakutkan, badannya besar dan berotot besar
sepertinya mereka body guard,
layaknya dia adalah orang penting sampai ditemani dua body guard, entahlah.
Saat ini umurku sudah bukan remaja lagi,
23 tahun aku sudah menghirup aroma kepalsuan dunia, bukan remaja walaupun masih
ingin selalu mendapat pahala tapi selalu nafsu yang kuturuti. Dan pada umur 23
tahun juga aku bisa mencoret salah satu mimpi dari banyak mimpi lainnya yang
kupunya. Menghajikan orang tua memakai uang hasil keringatku, bukan memoroti
uang tabungan haji hasil keringat orang tuaku.
Hanya tinggal menghitung menit aku bisa
menginjak tanah suci Mekkah. Kota impianku, disini terdapat kiblatnya umat
muslim, disini juga bisa mengistirahatkan fikiranku dan mendekatkan diri pada
tuhanku, lebih dekat, sangat dekat. Meskipun aku tau, Allah itu jaraknya lebih
dekat dari urat nadi yang ada di leher setiap manusia, Allah itu ada kemana pun
kita melihat, dan aku percaya Allah itu disini, dimana pun aku berada.
Tak terasa satu bulan sudah aku disini,
aku sedih, dengan mudahnya waktu merenggut kebahagiaanku, ketenanganku yang
sangat total, mungkin perasaanku tidak bisa setenang ini jika sudah dihadapkan
dengan persoalan duniawi.
Aku terus berdo’a tentang apa yang
kuinginkan pada Allah SWT, karna Allah SWT itu maha memiliki, “Rakus-rakuslah
kamu dalam berdo’a, karena kita kan punya tuhan yang maha kaya.” Itu adalah
pesan dari nenekku, beliau selalu mengingatkanku jika ku lalai, selalu
memberiku nasihat-nasihat yang sangat bermanfaat, sampai sebelum pergi haji,
beliau memintaku untuk memohon kepada Allah agar diberikan pasangan hidup yang
sholih yang dicintai dan mencintai Allah. Dan aku tak melupakan pesan nenek
itu.
Rencananya, kami tidak akan langsung
pulang ke Indonesia, kami akan berjalan-jalan beberapa hari di Madinah, kota tempat
Islam benar-benar berkembang. Tetapi, ketika kami akan memulai perjalanan kami
menuju Madinah, ada seorang pria yang menghampiri kami, dia bersalaman dan
memeluk ayahku, begitu juga kakakku, dia juga mengucapkan salam padaku dan
ibuku. Karna sebagai umat Islam, lawan jenis yang bukan mahrom tidak boleh bersentuhan, jadi kami hanya saling bersalaman
jarak jauh.
“Kau tidak ingat aku, Fatimah ?” Kata
pria itu.
Aku tau pria ini adalah pria yang duduk
dibelakang kakakku dan dikellilingi oleh para body guard yang menakutkan. Kini, aku melihatnya lebih dekat,
wajahnya benar-benar terlihat bersinar seperti orang-orang shalih pada umumnya,
dan aku merasakan sesuatu yang belum pernah kurasakan sebelumnya.
“Aku
ingat, kau adalah pria yang duduk dibelakang kakakku, kan?” Jawabku sekaligus tanyaku.
“Iya, lalu apa kau masih mengenalku lebih
dari ucapanmu tadi?”
“Maaf, aku benar-benar tidak
mengenalmu…” Ucapku sedikit gugup.
“Siapa kamu?” tanya kakakku dengan galaknya.
Tak kalah body guard yang mengawasi
orang itu juga ikut menyeringai. Tapi tertahan.
“Tenang kak Umar … niat saya baik, saya
hanya ingin temanku mengingat kembali teman lamanya ini.” Sahut pria yang masih
sekarang belum kukenali, bahkan dia pun tau nama kakakku.
“Begini, nama saya Ali, teman SD
Fatimah…” Lanjut pria itu.
Lama aku mengingat.
“Mmm Masya Allah… aku ingat, kau kak Ali
yang tiba-tiba hilang tak berbekas, lalu muncul kembali tanpa kabar, iya kan ?”
Tanyaku.
“Iya, Fatimah, ini aku…”
“Masya Allah… Ali… adik kelasku yang
nakal itu…?” Tanya kakakku sambil memeluk erat kak Ali, teman kecilku, kak Ali
memang sudah dekat dengan keluargaku.
Ayah dan ibuku juga turut bahagia bisa
bertemu teman kecilku ini.
“Dimana sekarang kau tinggal, nak?” Tanya
ayahku.
“Tidak jauh dari sini, ayo lebih baik
mampir dulu ke rumahku sebelum kalian pulang ke Indonesia…” Ajak kak Ali.
“Lalu mengapa kak Ali tadi berada di
pesawat Indonesia?” Tanyaku.
“Aku ada urusan disana, lalu
sepulangnya, aku berencana untuk menunaikan haji terlebih dahulu.” Jawab kak
Ali.
Kami pun pergi menuju rumahnya. Tak
kusangka, aku bisa bertemu lagi dengannya, dia memang teman sekelasku, tapi
umurnya berbeda denganku, makanya aku memanggilnya kak Ali, padahal jika
kuingat, dulu dia menghilang dan tak ada satu orang pun yang tau
keberadaannnya, aku berjanji jika sudah sampai dirumahnya, aku akan
menanyakannya.
“Fatimah, selamat ya! akhirnya kamu
berhasil jadi penulis hebat…” Seru kak Ali saat mobil mulai masuk ke jalan
raya.
“Terima kasih kak … tapi bagaimana kakak
tau?”
“Mmm … sebenarnya aku hadir diacara
International Writer Association di Libya, maaf ya … saat itu aku tak sempat
mengucapkan selamat atas keberhasilanmu.”
“Tak apa kak … kakak hadir disana saja
aku sudah senang.”
“Jangan-jangan uang itu kau gunakan
untuk berangkat ke baitullah kemarin ?”
Aku hanya menyelipkan jawaban dibalik
senyumku.
Sampailah kami dipintu gerbang rumah kak
Ali.
“Subhanallah… besar sekali rumahmu, li… !!
Seru kakakku.
Ali hanya tersenyum mendengarnya.
“Kak Ali, dulu kemana kau pergi,
bolehkah kau ceritakan pada kami ?” Tanyaku sesuai janjiku dan sebisa mungkin
berdoa agar dia tidak tersinggung dengan pertanyaanku.
“Dulu, Pak Aziz, guru Bahasa Indonesia
di SD pernah bertanya soal cita-cita dan harapan, dari dulu aku sangat ingin
menjadi presiden, sayangnya ketika aku mengatakannya, semua teman-teman
menertawakanku, aku malu, marah, dendam, aku pun menangis dan mulai saat itu
aku tak mau sekolah, ayahku selalu memarahiku karna aku menjadikan hal sepele
sebagai alasan mengapa aku tidak mau sekolah, akhirnya ayahku menitipkanku di
tempat saudaraku, tak jauh dari sini. Disini, aku sekolah sekaligus bekerja
sebagai tukang roti, suatu saat ketika aku lulus SD disini, aku pulang ke
Indonesia, aku pun bertekad menjadi tukang roti bakar disana, aku akan membunuh
rasa malu yang dulu selalu menghantuiku, aku tak tau kau sadar atau tidak, kau
pernah membeli rotiku, Fatimah. Sekalipun aku sekolah sambil bekerja, tapi aku
selalu belajar, hingga aku kembali lagi kesini, aku masih bekerja sebagai
tukang roti yang bersemangat untuk belajar.”
“Kak Ali maafkan kami yang sudah menjadi
teman yang tidak baik bagi kak Ali…”
“Tak apa, Fatimah, aku sudah
melupakannya …”
“Lalu kau sekarang bekerja jadi tukang
roti sukses hingga kau punya rumah besar dan beberapa body guard ?” Tanya kakakku.
“Tidak Pak Walikota ….” Kata kak Ali
yang memanggil kakakku dengan sebutan Pak Walikota.
“Darimana kau tau aku menjadi Pak
Walikota ?”
“Aku juga kan suka baca berita ketika
tinggal disana. Bukankah dulu juga kau pernah bilang kalau kau ingin jadi Pak
Walikota ?”
“Iya, kau ini… masih ingat saja… lalu
kau punya pekerjaan apa ?”
“Alhamdulillah kak… sekarang Ali sudah
jadi Direktur perusahaan di Qatar, kak ..”
“Subhanallah…!!!” Seru kami, hampir
bersamaan.
“Iya… karna saya yakin dengan kalimat
“Hope is a dream that doesn’t sleep”, harapan adalah mimpi yang tidak tidur…
sekalipun hasilnya berbeda dengan yang aku impikan, tapi aku mencintai
pekerjaanku. Dan aku bahagia walau masih sendiri. ” Ucap kak Ali.
Dan semakin lama kami bersama, jantungku
semakin berdegup lebih kencang.
0 komentar:
Posting Komentar