Kamis, 19 Mei 2016

Mimpi yang Tidak Tidur

Mataku menerawang jauh kebawah sana, Subhanallah… begitu menakjubkan, apalagi disampingku duduk seorang bidadari. Bidadari syurga, menurutku. Meski umurnya sudah lebih dari separuh abad, tapi semangatku bergejolak ketika melihat pancaran keikhlasan dari matanya, bibirnya tak berhenti mengucapkan sesuatu yang sepertinya diucapkan untuk ilah kami.


Syukurku pada Allah SWT  tak kunjung berhenti. Bagaimana tidak? mimpiku kini sudah tercapai, aku duduk manis bagai ratu sehari. Wanita-wanita santun yang berparas elok  itu sudah memberikan apa yang aku inginkan, bukan mengabulkan, aku tau mereka sudah mempersiapkan semuanya dengan baik.
Meskipun pramugari itu memaksa kami untuk memperhatikannya, tapi aku lebih tertarik melihat suasana disekelilingku. Banyak wajah yang menggambarkan kebahagiaan, tak terkecuali ibuku, ayahku, dan kakakku. Tapi ada yang aneh dengan wajah yang saat ini kulihat, dia memang terlihat bahagia, tapi…
“Fathimah, berapa lama lagi kita sampai?” Tangannya menggenggam erat tanganku.
“Sebentar lagi, bu.” Kataku selembut mungkin.
Tapi matanya memancarkan sesuatu yang lain, yang membuatku merasa senang melihatnya, ya… seperti melihat orang–orang yang sangat dekat dengan tuhannya, sejuk dilihat. Lebih anehnya lagi, aku merasa wajahnya tidak asing bagiku, entah aku pernah berteman atau hanya pernah berinteraksi sesaat dengannya. Astagfirullah… berkata apa aku ini? mana mungkin aku pernah berteman dengannya, dengan seseorang yang disekelilingnya duduk orang-orang non-Indonesia yang sedikit menakutkan, badannya besar dan berotot besar sepertinya mereka body guard, layaknya dia adalah orang penting sampai ditemani dua body guard, entahlah.
Saat ini umurku sudah bukan remaja lagi, 23 tahun aku sudah menghirup aroma kepalsuan dunia, bukan remaja walaupun masih ingin selalu mendapat pahala tapi selalu nafsu yang kuturuti. Dan pada umur 23 tahun juga aku bisa mencoret salah satu mimpi dari banyak mimpi lainnya yang kupunya. Menghajikan orang tua memakai uang hasil keringatku, bukan memoroti uang tabungan haji hasil keringat orang tuaku.
Hanya tinggal menghitung menit aku bisa menginjak tanah suci Mekkah. Kota impianku, disini terdapat kiblatnya umat muslim, disini juga bisa mengistirahatkan fikiranku dan mendekatkan diri pada tuhanku, lebih dekat, sangat dekat. Meskipun aku tau, Allah itu jaraknya lebih dekat dari urat nadi yang ada di leher setiap manusia, Allah itu ada kemana pun kita melihat, dan aku percaya Allah itu disini, dimana pun aku berada.
Tak terasa satu bulan sudah aku disini, aku sedih, dengan mudahnya waktu merenggut kebahagiaanku, ketenanganku yang sangat total, mungkin perasaanku tidak bisa setenang ini jika sudah dihadapkan dengan persoalan duniawi.
Aku terus berdo’a tentang apa yang kuinginkan pada Allah SWT, karna Allah SWT itu maha memiliki, “Rakus-rakuslah kamu dalam berdo’a, karena kita kan punya tuhan yang maha kaya.” Itu adalah pesan dari nenekku, beliau selalu mengingatkanku jika ku lalai, selalu memberiku nasihat-nasihat yang sangat bermanfaat, sampai sebelum pergi haji, beliau memintaku untuk memohon kepada Allah agar diberikan pasangan hidup yang sholih yang dicintai dan mencintai Allah. Dan aku tak melupakan pesan nenek itu.
Rencananya, kami tidak akan langsung pulang ke Indonesia, kami akan berjalan-jalan beberapa hari di Madinah, kota tempat Islam benar-benar berkembang. Tetapi, ketika kami akan memulai perjalanan kami menuju Madinah, ada seorang pria yang menghampiri kami, dia bersalaman dan memeluk ayahku, begitu juga kakakku, dia juga mengucapkan salam padaku dan ibuku. Karna sebagai umat Islam, lawan jenis yang bukan mahrom tidak boleh bersentuhan, jadi kami hanya saling bersalaman jarak jauh.
“Kau tidak ingat aku, Fatimah ?” Kata pria itu.
Aku tau pria ini adalah pria yang duduk dibelakang kakakku dan dikellilingi oleh para body guard yang menakutkan. Kini, aku melihatnya lebih dekat, wajahnya benar-benar terlihat bersinar seperti orang-orang shalih pada umumnya, dan aku merasakan sesuatu yang belum pernah kurasakan sebelumnya.
 “Aku ingat, kau adalah pria yang duduk dibelakang kakakku, kan?” Jawabku sekaligus tanyaku.
“Iya, lalu apa kau masih mengenalku lebih dari ucapanmu tadi?”
“Maaf, aku benar-benar tidak mengenalmu…” Ucapku sedikit gugup.
“Siapa kamu?” tanya kakakku dengan galaknya. Tak kalah body guard yang mengawasi orang itu juga ikut menyeringai. Tapi tertahan.
“Tenang kak Umar … niat saya baik, saya hanya ingin temanku mengingat kembali teman lamanya ini.” Sahut pria yang masih sekarang belum kukenali, bahkan dia pun tau nama kakakku.
“Begini, nama saya Ali, teman SD Fatimah…” Lanjut pria itu.
Lama aku mengingat.
“Mmm Masya Allah… aku ingat, kau kak Ali yang tiba-tiba hilang tak berbekas, lalu muncul kembali tanpa kabar, iya kan ?” Tanyaku.
“Iya, Fatimah, ini aku…”
“Masya Allah… Ali… adik kelasku yang nakal itu…?” Tanya kakakku sambil memeluk erat kak Ali, teman kecilku, kak Ali memang sudah dekat dengan keluargaku.
Ayah dan ibuku juga turut bahagia bisa bertemu teman kecilku ini.
“Dimana sekarang kau tinggal, nak?” Tanya ayahku.
“Tidak jauh dari sini, ayo lebih baik mampir dulu ke rumahku sebelum kalian pulang ke Indonesia…” Ajak  kak Ali.
“Lalu mengapa kak Ali tadi berada di pesawat Indonesia?” Tanyaku.
“Aku ada urusan disana, lalu sepulangnya, aku berencana untuk menunaikan haji terlebih dahulu.” Jawab kak Ali.
Kami pun pergi menuju rumahnya. Tak kusangka, aku bisa bertemu lagi dengannya, dia memang teman sekelasku, tapi umurnya berbeda denganku, makanya aku memanggilnya kak Ali, padahal jika kuingat, dulu dia menghilang dan tak ada satu orang pun yang tau keberadaannnya, aku berjanji jika sudah sampai dirumahnya, aku akan menanyakannya.
“Fatimah, selamat ya! akhirnya kamu berhasil jadi penulis hebat…” Seru kak Ali saat mobil mulai masuk ke jalan raya.
“Terima kasih kak … tapi bagaimana kakak tau?”
“Mmm … sebenarnya aku hadir diacara International Writer Association di Libya, maaf ya … saat itu aku tak sempat mengucapkan selamat atas keberhasilanmu.”
“Tak apa kak … kakak hadir disana saja aku sudah senang.”
“Jangan-jangan uang itu kau gunakan untuk berangkat ke baitullah kemarin ?”
Aku hanya menyelipkan jawaban dibalik senyumku.
Sampailah kami dipintu gerbang rumah kak Ali.
“Subhanallah… besar sekali rumahmu, li… !! Seru kakakku.
Ali hanya tersenyum mendengarnya.
“Kak Ali, dulu kemana kau pergi, bolehkah kau ceritakan pada kami ?” Tanyaku sesuai janjiku dan sebisa mungkin berdoa agar dia tidak tersinggung dengan pertanyaanku.
“Dulu, Pak Aziz, guru Bahasa Indonesia di SD pernah bertanya soal cita-cita dan harapan, dari dulu aku sangat ingin menjadi presiden, sayangnya ketika aku mengatakannya, semua teman-teman menertawakanku, aku malu, marah, dendam, aku pun menangis dan mulai saat itu aku tak mau sekolah, ayahku selalu memarahiku karna aku menjadikan hal sepele sebagai alasan mengapa aku tidak mau sekolah, akhirnya ayahku menitipkanku di tempat saudaraku, tak jauh dari sini. Disini, aku sekolah sekaligus bekerja sebagai tukang roti, suatu saat ketika aku lulus SD disini, aku pulang ke Indonesia, aku pun bertekad menjadi tukang roti bakar disana, aku akan membunuh rasa malu yang dulu selalu menghantuiku, aku tak tau kau sadar atau tidak, kau pernah membeli rotiku, Fatimah. Sekalipun aku sekolah sambil bekerja, tapi aku selalu belajar, hingga aku kembali lagi kesini, aku masih bekerja sebagai tukang roti yang bersemangat untuk belajar.”
“Kak Ali maafkan kami yang sudah menjadi teman yang tidak baik bagi kak Ali…”
“Tak apa, Fatimah, aku sudah melupakannya …”
“Lalu kau sekarang bekerja jadi tukang roti sukses hingga kau punya rumah besar dan beberapa body guard ?” Tanya kakakku.
“Tidak Pak Walikota ….” Kata kak Ali yang memanggil kakakku dengan sebutan Pak Walikota.
“Darimana kau tau aku menjadi Pak Walikota ?”
“Aku juga kan suka baca berita ketika tinggal disana. Bukankah dulu juga kau pernah bilang kalau kau ingin jadi Pak Walikota ?”
“Iya, kau ini… masih ingat saja… lalu kau punya pekerjaan apa ?”
“Alhamdulillah kak… sekarang Ali sudah jadi Direktur perusahaan di Qatar, kak ..”
“Subhanallah…!!!” Seru kami, hampir bersamaan.
“Iya… karna saya yakin dengan kalimat “Hope is a dream that doesn’t sleep”, harapan adalah mimpi yang tidak tidur… sekalipun hasilnya berbeda dengan yang aku impikan, tapi aku mencintai pekerjaanku. Dan aku bahagia walau masih sendiri. ” Ucap kak Ali.
Dan semakin lama kami bersama, jantungku semakin berdegup lebih kencang.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Online Project management
Sumber : http://kolombloggratis.blogspot.com/2011/03/tips-cara-supaya-artikel-blog-tidak.html#ixzz2bicjTJxj