Indonesia adalah negara yang masyhur dengan kekayaan
dan keragaman budayanya.
Kebenaran hal ini dapat dilihat pada
lambang negara Indonesia, Burung Garuda, yang dengan gagahnya
membawa tulisan “Bhinneka Tunggal Ika”. Bahasa sansekerta yang berarti
berbeda-beda tetapi tetap satu. Semboyan negara tentu bukan kalimat biasa yang
muncul dari sembarang kepala, melainkan kalimat yang mewakilkan jati diri dari
sebuah bangsa. Lalu mengapa perbedaan yang menjadi hal utamanya? Mengapa
bukan luas wilayah atau keindahan alam yang dijadikan kebanggaan negara?
Kata “berbeda-beda” yang tertulis pada lambang
negara kita mewakilkan setiap unsur yang
berbeda pada Indonesia. Kebudayaan, adat istiadat,
suku bangsa, bahasa, dan kebiasaan yang selalu berbeda di setiap bagian dari
Indonesia adalah harta terbesar kita. Namun, perbedaan yang merupakan harta ini tidak
berharga sama sekali jika kita, warga
negaranya sendiri tidak menghargai dan menghormatinya. Jika perbedaan sudah tidak dihargai lagi, maka takkan
ada persatuan, yang dipikirkan hanyalah persaingan. Ketika rakyat Indonesia
tidak lagi menghargai perbedaan dan saling menghormati dengan rakyat dari
daerah lainnya, maka kebesaran Negara Indonesia
tidak lagi berharga, besarnya kekuatan seluruh rakyat Indonesia tidak lagi
berdaya. Hal ini terbukti oleh sejarah, sebelum bangsa asing menjajah dan
menaklukkan Indonesia, hal pertama yang pertama mereka lakukan adalah memecah
belah Indonesia dan membuat rakyat Indonesia saling berperang.
Terhapuskan bukan berarti tidak bisa tertulis
kembali. Indonesia masih terancam penjajahan.
Kemajuan teknologi saat ini membuat para penduduk dunia menjadi semakin
individualis. Semakin hari semakin ganas saja keindividualisan ini. Segala
sesuatu bisa dilakukan tanpa banyak bantuan orang lain, cukup dengan mesin. Tak
terkecuali Indonesia. Kesenjangan ini memberikan banyak kesempatan bagi mereka,
para penjajah, untuk kembali hadir di masa depan sebagai penghancur negara
besar, Indonesia. Sejarah ini tertulis atau tidak, tergantung pada kita, warga
Indonesia.
Hal yang dapat mencegah adanya sejarah yang tidak
diinginkan seperti itu adalah keharmonisan. Banyak cara untuk membangun
keharmonisan ini, seperti teknologi dan lingkungan pembelajaran, sekolah.
Dengan teknologi, Indonesia bisa
menjadi kampung global, tidak ada batas antar pulau,
orang Jawa bias berteman dengan orang Sumatra, Kalimantan, Papua,
dan lainnya dengan mudah.
Dengan itu, kita hapuskan
kesedihan anak Indonesia yang ada di perbatasan, seperti dalam kisah yang dikutip
dari salah satu film
Indonesia,
tentang anak perbatasan yang mencintai Indonesia namun hidup di lingkungan
negara asing, di lingkungan orang
yang tidak menghormati bendera Merah Putih. Kita yakinkan mereka bahwa kita, sesama penduduk
Indonesia adalah teman mereka. Kita hilangkan
presepsi bahwa Negara Indonesia hanyalah pulau Jawa dan Bali. Indonesia adalah
Indonesia, dari Sabang sampai Merauke.
Sekolah-sekolah Indonesia juga harusnya menjadi
jalan bagi para pelajar Indonesia untuk memiliki jiwa “Bhinneka Tunggal Ika” di
dadanya. Sehingga keharmonisan ini semakin terbangun.
Saya kecewa ketika menyadari bahwa upaya para pendidik Indonesia bagi generasi
muda agar memiliki sikap nasionalis sangat terbatas. Hanyalah pembelajaran ilmu seni budaya yang
mempelajari sedikit dari kesenian
dan kebudayaan Indonesia. Dan pelajaran PKn yang mengajarkan ilmu untuk menjadi
warga negara yang baik. Dengan pengajaran ilmu yang terbatas seperti itu, belum
cukup untuk membuat generasi muda Indonesia sadar bahwa negaranya ini lebih
besar dan berbudaya dari yang mereka bayangkan. Ketika pengetahuan mereka
tentang keragaman Indonesia ini bertambah, mereka akan semakin bangga dan
mencintai Indonesia, sehingga mereka akan ikut berjuang membangun keharmonisan.
Begitu seharusnya generasi muda Indonesia.
Masalah lainnya adalah tuntutan untuk kuliah, yang mengharuskan nilai
laporan hasil belajar siswa ada di atas rata-rata. Sehingga para pendidik
terpaksa harus terfokus pada nilai KKM (Kriteria Ketuntasan Minimum. Waktu bagi
para pelajar pun habis untuk mengejar nilai di sekolah dan istirahat sepulangnya. Tidak ada
waktu untuk memikirkan negaranya yang sedang krisis keharmonisan ini.
Alhasil, di kehidupan Indonesia saat ini, perbedaan
malah menjadi masalah dasar bagi timbulnya masalah besar di setiap penjuru
Indonesia. Perbedaan bahasa malah menjadi alat untuk memperolok teman yang
datang jauh dari daerah lain di Indonesia, untuk lelucon, katanya. Perbedaan
hukum adat malah menjadi biang kerok perang antar desa. Apa mungkin karena
tulisan “Bhinneka Tunggal Ika” di foto garuda yang tergantung di setiap kelas, di sekolah di Indonesia
terlalu kecil dibuat? Atau burung garuda telah terbang terlalu jauh? Tentu
tidak. Sejarah menakutkan di masa depan tentang perpecahan Indonesia dan para
penjajah tidak akan terjadi, selama rakyat
Indonesia mampu memanfaatkan segala cara untuk mewujudkan keharmonisan di
Indonesia, salah satunya lewat teknologi dan sekolah. Sehingga dengan perbedaan yang begitu banyak, rakyat
Indonesia tetap hidup dalam keharmonisan.
Didy - The Notes
1 komentar:
beda itu indah
obat wasir
Posting Komentar