Jumat, 21 Juli 2017

Tanya-Jawab: Cerita Aktivis Himpunan yang Ingin Lulus Cum Laude

gambar : kompasiana.com
Warning! Tulisan ini hanya bisa dibaca oleh orang yang disayang Tuhan (sabar, karena agak panjang hehe).

“Aktif organisasi jangan ya? Nggak juga gak apa-apa kali ya? Gak dosa ini.” Daripada menjawab pake teori “sok tau” isme, mending kita ambil pelajaran dari pendapat seorang ketua angkatan.

Siapa sih ketua angkatan itu?

Di perguruan tinggi, setiap angkatan suatu jurusan pasti memiliki seorang pemimpin. Ada yang disebut ka ang (ketua angkatan) ataupun koor. Untuk menjadi seorang ketua angkatan perlu melewati beberapa proses yang terbilang berat, khususnya di kampus kami. Karena ka ang ini adalah jabatan seumur hidup, tidak ada kata habis masa periode, maka perlu seseorang yang memiliki keteguhan hati dan loyal terhadap angkatannya.

Sebelum menjabat suatu kepengurusan, ketua angkatan telah lebih dulu aktif karena harus mengoordinir angkatan dari awal dan juga menjadi jembatan komunikasi dengan senior. Singkatnya, ka ang adalah orang ter-aktivis kalo di “himpunan”. Berikut adalah hasil tanya-jawab dengan seorang ketua angkatan di Politeknik Negeri Bandung.

1.   Awal kuliah, rencananya mau kejar nilai atau aktif organisasi?

Dia bilang seperti umumnya mahasiswa baru yang masih polos, bertekad mengejar nilai dan hanya mengikuti arus di bidang organisasi, dia pun seperti itu. Walaupun, nyatanya kini banyak mahasiswa baru yang sudah tidak “polos” alias memiliki target dan konsep yang lebih baik daripada seniornya, fakta itu masih terbilang benar.

“Tapi, dapet motivasi dari kakak tingkat dan temen lulusan POLBAN yang bilang di POLBAN gak harus nilai aja, tapi coba aktif organisasi. Jadi, di awal mulai coba-coba nyalonin jadi ketua regu PPKK (ospek), nyalonin koor angkatan walaupun gak berani dan jadi ketua kelas. Pokoknya tujuan awal saya ingin terlihat aktif, tapi tetep kejar ke nilai. Makanya di awal semester mah rajin.”

2.   Berapa perbandingan prioritas nilai dan organisasi saat ini?

“1 : 2 haha. Jelek sih harusnya 1:1, tapi terlalu banyak bisikan setelah dapet jabatan di organisasi yang bilang kalau IP itu hanya gerbang masuk dunia kerja. Kedepannya soft skill dan pengalaman yang dibutuhkan. Kecuali kalau emang mau lanjutin kuliah mungkin yah bakal serius nilai lagi.”

As expected, ketua angkatan HMAK ini lebih memprioritaskan organisasi daripada nilainya. Tapi, sebagai orang yang sering bergaul dengan alumni yang notabene telah memiliki pengalaman di dunia kerja, jawabannya ini sangat bisa dipercaya.

“Dapet point penting pas dateng ke job fair kemarin, para pencari kerja itu sampe ribuan jumlahnya, apalagi kalau angkatan kita nanti lulus. Nah apa sih point lebih yang kita punya dibanding lulusan sarjana lainnya? Kalau kita sama aja dengan yang lain ya sama aja sulit.”

“IPK minimal 3 itu standard perusahaan, tapi ada beberapa perusahaan yang menuliskan kriteria "aktif organisasi & pengalaman organisasi". Nah, pengalaman itu yang bakal kita pegang jadi  kelebihan dibanding sarjana-sarjana lainnya. Makanya, prioritas sekarang organisasi lebih besar dari nilai. Dan mungkin akan berubah ketika berakhir kepengurusan, karena ingin ngejar cum laude agar bisa bikin orang tua bangga. Haha.”

Walaupun, akhirnya dia tetap memilih perbandingan 1:1 sebagai porsi yang terbaik. Nilai bagus tapi tetap aktif di organisasi. Dan juga, sekalipun sibuk banyak kegiatan, tapi ka ang ini nilainya tetap bagus. Huruf A masih banyak bertengger di laporan hasil studinya, bukti bahwa masih ada kesempatan untuk seorang aktivis seperti beliau.

3.   Gimana caranya biar bisa bagi waktu?

“Cara yang biasa dilakuin itu ngelist apa aja yang harus dilakuin sampe tiga atau empat bulan ke depan. Kalau bisa punya catatan kecil yang isinya list to do. Dengan cara menulis, kita bakal tau waktunya kapan dan gak mepet mempersiapkannya.”

Selain itu, demi mengefektifkan waktu katanya dia suka melakukan beberapa kegiatan secara bersamaan. Mulai dikerjakan dari yang mudah. Setiap selesai, kegiatan tersebut dicoret dari “list to do” tadi dan melanjutkan ke kegiatan lainnya. Jadi ketua angkatan di jurusan atau universitas mana pun memang pasti sibuk, gais.

“Waktu buat keluarga, biasanya harus ada sehari yang emang stay dirumah ga kemana mana. Karena keluarga emang pendukung, tempat kita nyeritain masalah dan lain lain. Setidaknya dengan aktifitas senin-jumat yang padet, ada satu hari bertemu dengan keluarga dihari sabtu atau minggu.”

Tips itu bisa dipakai untuk yang kuliahnya satu kota dengan tempat tinggal, ya. Sedangkan untuk yang merantau --hanya bisa pulang di long weekend--, akhir minggu bisa digunakan untuk istirahat, atau melakukan kegiatan yang merupakan hobi kita.

“Pasti harus ada yang dikorbanin, waktu main, jarang dirumah, dan lain-lainnya. Ketika waktu liburan sih, main jadi yang paling penting buat refresing lieur nya kuliah. Nah bagi waktunya di hari sabtu atau minggu. Jadi satu hari dirumah dan satu hari lagi buat main kalau main haha.”

“Istirahat disempetin di selang waktu luang aja. Dan yang terakhir, tugas, kalau niat ya dikerjain malem, lamun kebluk ya dikelas bareng-bareng hahaha.”

4.   Apa motivasi dan kesulitan yang dihadapi pas jadi aktivis himpunan (ketua angkatan) ?

“Kesulitannya pas koordinir angkatan. Sulit pisan buat ngumpulin angkatan biar pada dateng, karena anak-anak kan udah punya idealisme nya masing masing. Minta bantuan buat acara skala besar yang butuh partisipasi angkatan juga susah.”

Admin sebagai salah satu anggota angkatan jadi ingin minta maaf nih. Yep, mengumpulkan dan memengaruhi orang itu sulitnya memang warbiyaza. Kata yang lain, hanya beberapa puluh orang saja memerlukan hati yang tabah dan kuat apalagi ratusan.

“Motivasinya dorongan dari temen-temen kelas dan ingin ngasih yang terbaik. Karna aku ga sendirian, ada kalian. Terus usaha coba, ingin ngebuktiin 2015 beda dan yang terbaik jadi jangan menyerah coba terus.”

Bagi kamu yang berniat jadi aktivis, apalagi bercita-cita jadi pemimpin, sebaiknya kamu memiliki motivasi kuat dan menguatkan seperti punya ka ang yang satu ini. Tapi, motivasi terbesar dan terkuat tetaplah diri kita sendiri. Karena saat lelah dan jenuh tiba, kita tidak perlu bergantung pada siapa pun kecuali pada diri sendiri, dan Allah Subhanahu Wata’ala.

5.   Kenapa pengen jadi ketua angkatan?

“Awal nya ngerasa bagel karna malu buat jadi koor angkatan. Jadi dari rasa bagel itu mulai PD ingin jadi sesuatu yang berguna. Pernah baca dari sesuatu gambar tentang, jangan mau jadi pengikut terus, jadilah yang diikuti. Dari kata-kata itu mulai ingin mencoba.” Setelah ditanyakan, ternyata bagel itu artinya rasa menyesal karena tidak melakukan sesuatu yang sebenarnya kita mampu. Sulit sekali bahasa aktivis ya hahaha.

“Dari proses penarikan cakaang (calon ketua angkatan), waktu itu maju dan niat, dalam hati bilang bismilllah maju jadi cakaang buka mata dan baris di depan. Awalnya, males jadi cakaang, cuman karna udah niat mateng diawal jadi gak ada kata mundur ikutin aja terus dan nikmatin prosesnya.”

“Ketua angkatan senior pernah bilang, ketika udah jalanin semua proses segala usaha dari awal terus pas pemilihan kita terpilih, melihat sekeliling angkatan nangis di depan kita itu rasanya sangat waw. Dari sana baru niat bener ingin jadi kaang. Ikutin aja terus prosesnya mau dibilang alay, sksd, riweuh, geje sama anak angkatan whatever karna aku ingin kenal sama kalian semua.”

Ngerasa seneng ketika bisa ngebantu orang. Pas ada temen angkatan yang kesusahan dan butuh bantuan, selagi aku bisa bantuin aku bakal terus bantuin mereka. Ada satu kebanggaan sendiri ngeliat temen-temen bisa terbantu. Apalagi kalau liat angkatan 15 bisa kerja bareng-bareng semua kelas berbaur. Kebanggaan sendiri ngeliatnya.”

Keluar zona nyaman. Dari awal aku orangnya pendiem, pemalu, gak bisa sosialisasi, panik, dari kaang aku belajar menghandle nya. Jangan mau stay di tempat itu terus. Kalau kita bisa berubah ke yang lebih baik, kenapa ga dicoba.”

Saya dan teman-teman lain sebagai classmate nya pun bisa melihat perubahan yang terjadi setelah dia menjadi ketua angkatan, yang pasti jadi lebih positif. Waktu dua tahun cukup untuk mendewasakan kita loh, gimana? masih mau empat tahun kuliah tapi gak menghasilkan perubahan? Setidaknya untuk diri sendiri.

“Kata Raditya Dika, kalau kamu mau jadi pemain bola jadi pemain yang paling hebat, jadi penulis jadilah penulis yang paling hebat, jadi ketua jadilah ketua yang terbaik. Haha.

“Terakhir, kenapa sih pengen jadi kaang? Aku ingin hadirnya aku bisa bermanfaat buat orang lain.”

Begitulah hasil tanya-jawab dengan seorang aktivis himpunan. Apa udah bikin kamu semangat di organisasi atau masih pikir-pikir? Even ketua angkatan yang sibuk masih punya kesempatan lulus Cum Laude, apalagi kita yang waktu luangnya suka berserakan. Coming soon jawaban-jawaban dari mahasiswi berprestasi peraih IP 4. Mereka aktif organisasi gak sih? ditunggu ya gaiz.

The distance between your dreams and reality is called ACTION.” Quotes yang dikutip dari sebuah akun instagram penjual kue.

Terima kasih.

Baca juga:

Selasa, 18 Juli 2017

DILEMA MAHASISWA UNTUK JADI PENGEJAR IPK ATAU AKTIVIS ORGANISASI (part 2/2)



Gambar dari Student Telkom University

Untuk dapat menentukan skala prioritas, kita mesti kenali dulu diri sendiri. Apa yang menjadi kelebihan dan kekurangan kita. Seperti dikatakan banyak orang: tidak ada manusia bodoh, yang ada hanyalah manusia tanpa kemauan belajar.

Kenapa pada saat ujian, kita pasti pernah merasa jawaban yang ditulis sudah sempurna bahkan mungkin mirip dengan kunci jawaban, saking PD nya. Tapi ketika nilai diumumkan, kita sering mengalami hal yang akhirnya membuat kita bergumam “Nilai bukanlah segalanya. Nilai hanyalah angka. Keep calm, stay cool, it’s already tomorrow in couple hours”, sambil senyum sok tabah dan kepo menanyakan nilai orang lain, berharap ada kawan seperjuangan.

Maka, kita harus membenahi presepsi kita terhadap kata pintar. Pintar bukan hanya memiliki nilai yang tinggi, cakap berbicara, dan lain sebagainya. Pintar artinya kita menguasai suatu hal, apapun itu. Bahkan pencopet pun bisa kita bilang pintar, bukan? Ya, mereka pintar mengelabui mangsa dan menguasai jurus kecepatan tangan ala ninja konoha. Wih.

Nah, antara akademis dan organisasi, dimana kita bisa menjadi lebih “pintar”?

MEMILIH AKTIF DI ORGANISASI DEMI MENUTUPI KURANGNYA NILAI

Apalagi untuk mahasiswa yang salah jurusan. Mendalami mata kuliah yang sebenarnya tidak kita senangi itu adalah cobaan yang berat, kawan.

“Duh aku benar-benar gak suka sama semua mata kuliahnya, lebih baik aku tutupi kekurangan ini dengan aktif organisasi.”

Pernyataan tersebut harus dikoreksi secuil. Memang tidak bisa dipaksakan, tapi dengan kita memprioritaskan diri di organisasi lantas akademis diabaikan, bukan ditutupi namanya, tetapi kita menggali kekurangan itu jadi lebih dalam. Karena waktu akan habis untuk organisasi dan kita semakin tertinggal di akademis.

Biasanya porsi mahasiswa semacam ini adalah 10 : 90, nilai berbanding organisasi. Ditulis angka 10 di perbandingan nilai pun demi  menghargai usaha kita yang masih ingin hadir dan mendengarkan ceramah dosen, sekaligus usaha mengerjakan tugas yang dilakukan pas deadline.

Lalu harus bagaimana?

Kita ganti kalimatnya menjadi “Aku benar-benar harus belajar lebih keras dibanding teman-teman, dan juga, aku harus melengkapi kekurangan ini dengan aktif di organisasi.”

Bagaimana pun juga, nilai akan menjadi tiket untuk memasuki dunia kerja, atau setidaknya akan menjadi gambaran bagi orang lain untuk melihat kemampuan kita dalam bidang tersebut. Suka tidak suka, kita tetap harus mempelajari mata kuliah yang sudah ditentukan. Seperti kata Imam Syafi’i :

“Jika kamu tidak dapat menahan lelahnya belajar, maka kamu harus sanggup menahan perihnya kebodohan.”

Targetkan saja nilai minimal yang biasa digunakan dalam seleksi kerja. Misalnya, banyak perusahaan yang mensyaratkan fresh graduate dengan ipk minimal 3, ya sudah tidak usah memaksakan diri untuk bisa mencapai lebih dari angka 3. Karena, nilai minimal ini adalah hasil kerja maksimal kita, harus bangga!

Lalu, untuk melengkapi kekurangan tersebut, coba lah aktif di organisasi. Jika memungkinkan, kita bisa memilih beberapa organisasi, lalu memaksimalkan perkembangan soft skill disana.

Di organisasi kita akan dilatih untuk bisa berkomunikasi dengan baik, memecahkan masalah dalam suatu kondisi, dan mengembangkan kreatifitas. Itu semua termasuk hal-hal yang menunjang pencapaian menjadi THE FULL PACKAGE VERSION OF US. Kalau kita ada di tingkat minimal untuk nilai, maka kita harus ada di tingkat maksimal untuk soft skill ini.

Perbandingan yang disarankan adalah 40 : 60. Ditambah 30 poin untuk nilai dengan penambahan usaha mengikuti kegiatan belajar bersama, demi nilai UAS yang lebih baik. Atau pun keinginan lebih aktif bertanya di kelas.

Dan juga, dalam 40% waktu tersebut, semuanya harus dimanfaatkan dengan efektif dan sungguh-sungguh. Terkadang metode ini akan lebih terasa daripada berlama-lama belajar tapi tidak konsentrasi.

MEMILIKI KEMAMPUAN AKADEMIS LEBIH BAIK DARI BERORGANISASI

Untuk tipe mahasiswa seperti ini, bukan berarti kita harus 100% di akademis dengan dalih menutup kekurangan karena tidak bisa berorganisasi. Tapi lagi-lagi, seimbangkan.

Tidak usah menjadi aktivis yang ada di jajaran petinggi alias pejabat, cukup targetkan saja ikut berorganisasi sampai kita mampu menyuarakan gagasan depan orang banyak dengan lancar. Cukup memiliki banyak kenalan dan bergaul dengan sedikit-banyak orang.

Selain akan menambah wawasan, itu juga akan meningkatkan skill kita dalam bersosial. Walaupun memiliki kemampuan komunikasi yang rata-rata, tapi didukung dengan pengetahuan tinggi dan wawasan yang luas akan meningkatkan percaya diri kita untuk bisa berbicara di depan orang banyak.

Kita bisa memilih perbandingan nilai dan organisasi di 60 : 40. Semoga dengan angka 60% saja, nilai kita masih bisa mencapai maksimal dan kemampuan berorganisasi juga meningkat.

MEMILIKI KEMAMPUAN RATA-RATA DI AKADEMIS DAN ORGANISASI

Nah, tipe seperti ini baru bisa menerapkan porsi fifty-fifty. Tapi, memanage waktu dan menyeimbangkan kedua hal ini bukanlah soal yang gampang. Daripada mencari banyak tips “cara membagi waktu dengan baik” tapi tidak direalisasikan, lebih baik kita persiapkan di awal sebelum masuk ke dunia mahasiswa yang “sok sibuk” itu.

Persiapan yang dimaksud adalah kita pilih satu organisasi seperti himpunan mahasiswa, organisasi daerah atau unit kegiatan mahasiswa yang mendalami hal yang kita sukai. Hindari memilih terlalu banyak, karena itu akan membuat kita sulit untuk fokus. Selain itu, kontribusi di setiap organisasi tidak akan maksimal.

Kalau kita mampu bekerja dengan baik, bertanggung jawab, dapat diandalkan dan jujur, maka yakinlah kita akan mendapatkan banyak pengalaman karena teman-teman dapat mempercayakanmu untuk menyelesaikan beberapa tugas. Bahkan, bisa saja kamu akan dipercaya menjadi pemimpin.

Di bidang akademis pun kita harus mengikutinya dengan tepat. Ketika di dalam ruang kelas dan sedang dalam waktu pembelajaran, tidak usah memikirkan tugas di organisasi yang belum selesai, sama sekali. Apalagi, mengerjakan. Hal tersebut adalah kesalahan yang umum dilakukan oleh mahasiswa yang aktif organisasi, padahal cukup konsentrasi saja pada dosen yang bikin ngantuk itu, setelah waktunya habis baru lanjutkan kembali tugasnya.

Gimana? Udah bisa membayangkan kehidupan kuliahmu bagaimana? Lebih banyak membaca buku politik, ataupun jurnal penelitian terbaru tidak ada yang salah. We can be perfect in our own way.

Let’s try to be the good full package version of us.


Coming soon, cerita ala-ala dari aktivis himpunan, asisten dosen, juga dari para mahasiswi peraih IP 4.



DILEMA MAHASISWA UNTUK JADI PENGEJAR IPK ATAU AKTIVIS ORGANISASI (part 1/2)


Let’s try to be the good full package version of us.

Gambar dari Student Telkom University

Tulisan ini dibuat dengan niat untuk membantu mahasiswa baru, atau mahasiswa baru satu-dua tahun meluruskan kembali perihal maksud kita memasuki dunia kampus. Terutama catatan untuk diri sendiri, yang nyatanya nyaris menjadi mahasiswa sempurna. Sempurna ke-tidak berguna-annya. Naudzubillahi min dzalik L Just kidding, dude.

Sedikit cerita, setelah berpusing-pusing dengan banyak ujian masuk perguruan tinggi, ditolak ini-itu, akhirnya saya diterima di beberapa tempat dan berakhir di POLBAN, Politeknik Negeri Bandung aka Ex-Politeknik ITB yang sering dikira Polisi Bandung. Namun, bukan berarti kepusingan ini berakhir begitu saja. Selanjutnya, banyak pertanyaan yang muncul seperti :

“Wah beneran nih aku jadi mahasiswa? Rasanya belum siap, diri ini tak lebih dari anak SMA yang hobinya begadang nonton drama korea, dilanjut pagi-pagi nongkrongin Spongebob bareng temen kost-an, untuk kemudian terlambat masuk kelas.”

“Aku belum siap jadi mahasiswa yang harus memikirkan bangsa, ataupun mengikuti kakak-kakak yang pakai jas almamater, bawa toa dan beberapa banner demonstrasi di berita TV. Dede masih kecil, kak L.”

Selanjutnya aku browsing di gugel berbagai tips menjadi mahasiswa teladan, bersahaja, serta menganut kedisiplinan tinggi dalam berorganisasi. No, actually itu mah terlalu berlebihan. Berbagai artikel yang dicari kebanyakan tentang “IPK atau organisasi?”, “Kuliah sambil kerja”, begitu kurang lebih.

Kebanyakan yang aku baca adalah jawaban setengah-setengah yang berujung “semua tergantung pada kemauan Anda.” Well buat apa krasak-krusuk di gugel kalo ujungnya disuruh mikir sendiri.

Berikutnya adalah jawaban menarik, kita bisa bikin seimbang antara IPK dan organisasi asal bisa memanage waktu dengan baik. Akhirnya pilihan telah ditentukan! Aku ingin aktif di organisasi tetapi tidak berniat melalaikan nilai akademis. Memanage waktu mah gampang, hey! Tinggal bikin agenda, lalu jalankan, selesai.

Tapi teman-teman, semuanya tidak berjalan mulus seperti kulit mbak-mbak di iklan lotion dan sabun mandi. Melainkan seperti kulit buaya asli yang gak akan mulus walau pake treatment mahal punya Syahrini L.

Kuliah itu sangat berbeda dengan kehidupan SMA. Disini kita tidak dianjurkan untuk jadi umat “ikut-ikutan.” Karena setiap pilihan yang kita ambil akan berdampak pada kehidupan kuliah ke depannya.

Contohnya? Di dunia perkuliahan, entah itu organisasi, himpunan, ataupun UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) sering mengadakan acara-acara dan membuka open recruitmen untuk kepanitiaannya. Lalu, ceritanya kita mendaftar hanya karena ikut-ikutan teman.

Alhasil, kita terikat dengan banyak tugas dan juga tanggung jawab yang “mau tak mau” harus diprioritaskan demi suksesnya acara tersebut. Kita tidak bisa begitu saja menghilang, beralasan “setiap orang memiliki prioritas yang berbeda” atau alasan “saya memiliki banyak kegiatan lain”, “izin blablabla”, lantas lari dari tanggung jawab. Kan gawat kalo ditanya senior galak : “Buat apa daftar toh, mas?!”

Karena perilaku seperti itu akan menurunkan integritas kita di mata teman-teman yang lain. Singkatnya, kita akan merugikan banyak orang dan juga diri sendiri. Karena teman-teman tidak akan mempercayai kita lagi untuk mengemban sebuah tanggung jawab.

“JADI, BAGAIMANA CARANYA MENENTUKAN KEGIATAN YANG AKAN DIPRIORITASKAN?”

Daripada memberikan jawaban yang setengah-setengah, tulisan ini akan mengajak kamu berpikir bersama untuk menjawab pertanyaan tersebut.

Pertama, pikirkan dulu apa tujuan kita kuliah.

Apakah ingin cepat lulus lalu memiliki gelar dan pekerjaan? Ataukah untuk mendalami suatu bidang ilmu pengetahuan yang kita sukai? Atau karena terpaksa, daripada dijodohkan lalu jadi mamah muda?

Sebuah tulisan karya Faizur Rohmat di kompasiana menyebutkan, “Sudah terlalu jauh bila kita memikirkan cara meningkatkan kualitas bangsa sedangkan masa depan kita sendiri belum terarah dan tidak terkonsep dengan baik.”

Terlepas dari apapun basa-basi seperti “mencari ilmu”, atau “ingin jadi agent of change”, pasti setelah lulus kuliah kita ingin memiliki pekerjaan dan pendapatan sendiri. Kasarnya, ingin banyak uang begitu, kan?

“Jadi, kita cukup belajar di kelas aja nih? Biar IPK gede trus cepet kerja?”
Nah, ijazah saja tak cukup untuk mendapatkan pekerjaan! Apalagi bermodal sertifikat kepanitiaan saja, mana cukup.

Setelah membaca beberapa tulisan mengenai pekerjaan. Ada data yang menunjukkan bahwa perusahan di Indonesia masih sulit untuk menemukan mahasiswa yang “siap pakai”. Padahal ribuan mahasiswa lulus setiap tahun. Apa sih yang sebenarnya perusahaan cari? (sila cari artikelnya).

Daripada mengcopas beberapa data mengenai “kriteria fresh graduate yang dibutuhkan perusahaan” lalu membuat penjelasan yang kaku dan tak berujung, lebih baik kita santai sedikit sembari berpikir.

“Kalo aku memiliki sebuah perusahaan, pegawai macam apa yang aku inginkan agar perusahaan ini makin menguntungkan?”

Bayangkan kita adalah pemilik sebuah perusahaan besar!

Tentunya bukan pegawai yang memiliki nilai tinggi, tapi tergagap berbicara di hadapan orang banyak. Paham berbagai teori, tapi tidak mampu menyuarakan gagasan sendiri. Bukan juga pegawai yang hobinya berbicara tapi tidak ada isinya. Apalagi pegawai yang berapi-api dalam berpendapat, tetapi tidak memiliki landasan teori yang akurat.
Jika kita punya perusahaan, pastilah kita ingin punya pegawai yang FULL PACKAGE. Berpengetahuan tinggi, memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik, tekun, dan memiliki etos kerja yang tinggi.

Sudah kebayang, kan? Harus seperti apa kita setelah lulus nanti?

“Ah, tapi aku gak mau jadi pegawai, aku maunya jadi founder, jadi atasan gitu deh.”

Kata siapa para pengusaha sukses di luar sana bisa mencapai tujuannya dengan mudah? Untuk jadi pegawai saja kita mesti full package, segala bisa. Apalagi jadi bos, lebih banyak lagi yang harus kita kuasai.

Bagaimana mempengaruhi orang lain, memecahkan masalah dalam keadaan penuh tekanan, memiliki banyak relasi. Butuh lebih dari sekedar pengetahuan tinggi, juga organisasi untuk jadi bos. Kita harus punya banyak pengalaman dan yang terpenting, kerja keras.

Intinya, kita harus bisa menyeimbangkan antara bidang akademis sebagai bekal pengetahuan dan “gerbang” masuk tahap seleksi kerja berikutnya, juga organisasi atau semacamnya sebagai modal untuk memiliki pengalaman serta meningkatkan soft skill kita. Walaupun seperti yang sudah tadi dikatakan, ini tidak akan berjalan mulus tanpa usaha.

“Maksudnya seimbang itu 50:50?”

Nah, langkah selanjutnya mengatur porsi dari prioritas. Kita memang dituntut memiliki pengetahuan yang tinggi didukung dengan berbagai soft skill. Tapi, ingat bahwa manusia diciptakan berbeda-beda, bukan? Jadi bagaimana menentukan porsi prioritas ini supaya kita bisa jadi lulusan yang ideal?

Selalu ada jalan untuk membuat kulit buaya ini jadi lebih indah, kawan.

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Online Project management
Sumber : http://kolombloggratis.blogspot.com/2011/03/tips-cara-supaya-artikel-blog-tidak.html#ixzz2bicjTJxj